Tak ada yang mengira kalau secangkir kopi nikmat dipagi hari sebagai teman membaca koran memiliki proses yang sebegitu rumitnya tak seperti saat menyeduhkan kopi bubuk dengan air panas. Perawakan lelaki tua nan cekatan ini dengan kaos oblongnya dan mata sayu baru bangun telah menyibukkan diri dengan kopi. Berbeda dengan masyarakat umum, kopi yang dipegang masih berupa biji kering sehabis dioven .
Gelap sisa malam yang masih menyelimuti suasana rumahnya tak menyurutkan kesibukkan Purwanto (40) untuk mengolah seluruh dagangannya, warga asli kebumen yang kini tinggal digang Pinggir Kali Ngabangan Pecinan,Semarang. Sejak jam 03.00 wib dini hari semuanya dimulai secara telaten, dirumah kontrakan sederhana bangunan khas cina yang dihuni oleh teman seperjuangannya sesama penjual kopi, terlihat sempit dan tertata rapi meski cuma ada dipan kasur dan sepeda usang serta timbunan biji kopi yang tak seberapa sebagai pengisi serta perabot dikontrakannya.
Jam telah menunjukkan pukul 05.00 wib, saatnya purwanto bergegas menjajakan beberapa kilogram kopi yang telah digiling semalaman. Ditemani sepeda onthel usang dan alat giling kopi turun temurun dari kakeknya, langkah kuat Purwanto terus menerjang padatnya Semarang yang sudah tak terasa asing baginya. Matahari yang masih malu-malu untuk keluar tak menjadi halangan baginya dalam menjajakan tiap ons bubuk kopi tersebut. Meski Pasar waru, tempat ia menjajakan kopi telah terbakar hangus, ia tetap berjualan hanya untuk pelanggan setianya yang tak seberapa. Dengan metode berjualan dari pintu ke pintu, karena munurutnya ini salah satu langkah mengenalkan kopi miliknya yang bebas pengawet.
“ Yah, mbak kalau gak pakai cara seperti ini dagangan saya nggak akan laku sama sekali. Apalagi ditambah lapak jualan saya juga habis terbakar. Kemarin minggu (12/6), saya juga baru saja mengambil penggiling kopi yang ada dilapak. Untung aja, cuma gosong sedikit.jadi masih bisa dipakai,” tuturnya pelan tapi pasti.
Terkadang, Purwanto juga sering menawarkan kopinya dari warung ke warung. Walau tak jarang beberapa ibu rumah tangga menjadi pelanggan tetapnya. Jauhnya pelanggan tak menjadi masalah karena baginya pelanggan adalah raja. Kayuhnya sepeda dan terik matahari tak pernah menjadi halangan. Dia mengaku betapa tidak mudahnya menjual kopi gilingannya, bahkan waktu itu ia pernah berjualan hinggga ke Masjid Agung Semarang.
“ Kira-kira tiga kilogram per hari saya menggiling biji kopi ini menjadi kopi bubuk siap seduh.” Ucap purwanto sambil memperagakan penggilingan biji kopi.
Dari gilingan tua peninggalan kakeknya inilah, yang senantiasa menemani hari-hari berjualan. Biji-biji kopi yang berasal dari Wonosobo dan Boja dengan jenis Robusta berciri-ciri ukuran kecil dan harum kopi yang menyengat setelah dioven oleh tengkulak tempat ia membelinya. Tiga kilogram lebih yang ia beli setiap hari untuk jualannya. Meski tak semua biji kopi yang ia beli dari tengkulak itu digiling langsung olehnya, karena waktu yang terkadang tak cukup untuk menggiling semua biji kopi tersebut.
“Dulu waktu kecil saya senang ngeliat apak saya menggiling kopi, kayanya ser. Terus setelah bapak saya mulai tak kuat berjualan di Jakarta. Yah, alhasil saya yang menggantikan tapi nggak di Jakarta. Disini saja sudah enak,” tuturnya
Omzet
Bapak tiga anak ini, terus mengayuh sepedanya hingga ke warung pertama langganannya. Walau hanya beberapa ons yang dibeli oleh warung tersebut tetapi senyum sumringah selalu hadir dalam jualannya. Kopi yang hanya dihargai Rp. 50.000/ kg ini selalu dinikmati pelanggan dengan rata-rata berumur 35 tahun keatas. Karena alasan inilah, kopi hasilnya selalu diburu oleh warga, sebab selain harga yang ekonomis dan kualitas kopinya tidak kalah dengan produksi kopi hasil pabrik.
Sebenarnya ada dua jenis kopi yang dijual olehnya. Ada kopi murni, yang terbuat dari biji kopi asli tanpa campuran apa pun dengan tekstur kopi hitam pekat. Sedangkan satunya kopi yang dicampur dengan jagung meski lumayan banyak peminatnya disamping harganya relatif lebih murah hanya Rp 4.000/ons tetapi tekstur pahitnya dari jagung juga terasa begitu kita menyeruput kopi tersebut.
“Saya biasa beli yang murni kopinya tidak yang pakai campuran jagung. Rasanya lebih nikmat kopi ini daripada kopi merk pabrik ternama, ada rasa yang tidak saya dapat di kopi lain. Ya cuma di kopi bubuk ini, tutur Hendro (43), salah satu pelanggan setia Purwanto.
Keuntungan yang tak seberapa, selalu disyukuri oleh lelaki paruh baya ini. Terkadang selembar Rp.20.000 yang bisa ia bawa pulang dan untuk dikirim ke keluarga kecil di kampung. Sebulan sekali ataupun lebih selalu disempatkan untuknya mudik dan temu kangen dengan keluarga. Seorang istri yang ia sayang dan tiga orang putra-putri kebanggaannya selalu membuatnya tak pernah malas untuk bekerja demi menyekolahkan anak-anaknya setinggi apa pun semampunya. Sore hari, setelah dagangan habis bapak yang biasa disapa pak pur ini bergegas ke tengkulak untuk membeli biji-biji kopi yang sudah dioven.
” Kadang kalau lagi sepi paling cuma bisa dapet Rp 50.000, tapi kalau lagi ramai ya semuanya habis...Alhamdulillah deh mbak ,”ucapnya sambil menghitung uang pendapatannya dihari ini.
Dibilangan Kampung Batik, bersebelahan dengan toko elektronik inilah suami dari Ibu Sumiati membeli perlengkapan yang dibutuhkan. Biji-biji kopi yang telah dioven dan siap untuk dibawa pulang olehnya.
“ Pak Pur selalu beli tempat saya, udah langganan dari dulu.” Ucap penjual biji kopi yang biasa disapa Bu Darsih.
Hingga saat ini, omzet penjualan kopi terus merangkak naik tapi tak pernah 100% dirasakan oleh penggiling kopi tradisional sepertinya. Total omzetnya mencapai Rp 15.000 dari tahun 1997 sampai sekarang.
Keberadaan para penggiling kopi ngabangan sekarang tidak menjamur seperti dulu, kini hanya ada sekitar 10-15 orang yang berprofesi sama seperti Purwanto. Tapi bagi mereka tak ada pesaing yang ketat karena mereka sama-sama merantau dan memiliki pelanggan masing-masing. Mereka dikucilkan tetapi juga dibutuhkan oleh segelintir orang karena kopi yang mereka buat memiliki rasa dan aroma yang murni dari kopi tropis milik Indonesia.